oleh

Dorong Milenialis Pelopori Anti Kekerasan Gender

Yogyakarta, jurnalsumatra.com – Pelatihan dasar memahami kekerasan berbasis gender dengan peserta para generasi Z atau generasi milenial, sangat strategis untuk memberi pemahaman tentang bahaya kekerasan. Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta, Bagus Ajy Waskyto Sugiyanto, MA, mengatakan, pemahaman yang baik tentang kekerasan berbasis gender pada kalangan generasi Z bisa menyokong efektivitas kerja dalam proses pencegahan kekerasan.

Dengan memberi pemahaman kepada Gen Z, diharapkan mereka dapat menjadi agen-agen pembaharuan dalam memahami bahaya kekerasan gender. “Dan menyokong pengurangan atau upaya menghilangkan aksi negatif tersebut,” kata Bagus Ajy Waskyto Sugiyanto, MA. Menurut Bagus, upaya memberi pemahaman tentang kekerasan berbasis gender tersebut telah disosialisasikan kepada masyarakat dan para pemuda di dusun Gandeng Karang Taruna Sorogenen, Dukuh Bibis, Timbulharjo, Sewon, Bantul, pada 22 Mei 2022 lalu.

Mereka diberi pelatihan dasar pemahaman mengenai kekerasan berbasis gender, dengan pendamping empat orang mahasiswa dari Prodi Ilmu Komunikasi. Dengan adanya mahasiswa yang terlibat dalam pelatihan itu, menurut Bagus Ajy, kegiatan ini juga merupakan upaya pembelajaran agar mahasiswa memahami bagaimana situasi terjun ke lapangan.

Dalam memberikan pemahaman kekerasan berbasis gender, Bagus menggunakan metode role play. Dengan metode itu, peserta diharapkan bisa lebih mudah untuk memahami masalah tersebut. Menyangkut inspirasi dari pelatihan itu, Bagus menyatakan hal itu didasari rasa prihatin atas maraknya kekerasan berbasis gender.

Menurut laporan catatan tahunan Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2020 terdapat 299.911 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan (Komnas Perempuan, 2021: 1). Jumlah ini mengalami penurunan sebesar 31 persen jika dibandingkan dengan laporan tahun lalu.

Faktor penurunan jumlah kasus kekerasan pada perempuan ini, bukan dikarenakan kesadaran akan kedudukan perempuan sudah baik. Tapi karena kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) selama pandemi Covid-19, yang membuat korban dekat dengan pelaku sehingga tidak berani melaporkan kasus yang dialaminya (Komnas Perempuan, 2021: 1).

Jika mengaca laporan Komnas Perempuan di tahun-tahun sebelumnya, tahun 2018 terdapat 406.178 kasus dan tahun 2019 sebesar 431.471 kasus, dengan kata lain terjadi lonjakan kasus sebesar 6,2 persen, angka ini semakin mengkhawatirkan bahwa ternyata dalam waktu 12 tahun kekerasan terhadap perempuan meningkat sebesar 792% (Lokadata. Id, 2020).

“Saya prihatian, kekerasan terhadap perempuan masih marak terjadi hingga saat ini. Walaupun sudah sejak satu abad yang lalu tokoh-tokoh perempuan seperti RA Kartini, Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, ataupun Nyai Ahmad Dahlan serta tokoh-tokoh perempuan lainnya memberikan sumbangsih yang besar terhadap negeri ini, ternyata kondisi perempuan pada umumnya masih pada taraf yang tidak baik-baik saja,” katanya.

Menurut dia, kondisi tersebut terkait dengan kultur sosial di Indonesia model patriarki. Model sosial ini membuat pihak perempuan semakin tidak berdaya. Konstruksi sosial dalam masyarakat melekatkan konsep seks dan gender. Seks atau jenis kelamin adalah suatu kategori biologis, sedangkan gender adalah konsep sosial yang berhubungan dengan sejumlah karakteristik psikologis dan perilaku yang kompleks yang dipelajari seseorang dalam pengalaman sosialisasinya. “Pengertian gender kerap kali tertukar dengan pengertian seks. Pengertian seks adalah suatu kategori biologis, sedangkan gender merupakan konsep sosial,” terangnya. (Affan)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

News Feed