oleh

Keadilan bagi perempuan penyandang disabilitas harus diperjuangkan

Diskriminasi berlapis dianggap terus terjadi di lingkaran sosial disabilitas kaum Hawa. Kekurangannya dan kelemahannya seolah dijadikan alasan dan pembenaran perlakuan tidak adil, tidak senonoh hingga tidak bisa memperoleh haknya kerap mereka terima.

Ini pula yang dirasakan Rizkah, seorang tuna netra low vision yang saat ini mengajar di SLB A Yapti Makassar, sekolah khusus penyandang disabilitas netra.

Ia masih merasakan masih hidup dalam lingkaran diskriminasi berlapis selain diskriminasi sebagai sebagai seorang perempuan, ia juga mendapatkan diskriminasi sebagai seorang disabilitas. “Sebenarnya ini sangat miris,” ungkap perempuan 32 tahun ini.

Lebih dari itu, pengakuan di masyarakat dalam hal kesanggupan hidup normal seperti orang-orang pada umumnya masih terus menjadi momok yang semakin melemahkan, sehingga hanya sedikit dari kaum disabilitas yang bisa meraih mimpinya, salah satunya dalam mengenyam pendidikan.

Rizkah mengaku hanya sedikit dari kaum disabilitas perempuan di Sulawesi Selatan yang mampu melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Hal ini terjadi karena ketidakpercayaan masyarakat, termasuk keluarganya sendiri.

Keluarga dan masyarakat kerap memandang para disabilitas dari sudut pandangnya sendiri, tanpa melihat apa yang bisa dilakukan oleh mereka. Selanjutnya, mental pun kian terpuruk dan tidak bisa berkembang untuk bisa hidup lebih baik tanpa dibatasi kekurangan.

Sementara dalam kondisi disabilitas, mental dan psikologis tentu sudah berbeda dari orang-orang normal, ini semakin diperparah dengan diskriminasi dan tidak adanya pengakuan dari keluarga.

Seolah kaum disabilitas menjadi dua kali tekanan mental, pertama dari kondisi fisiknya dan kedua dari keluarga mereka sendiri yang menganggap anggota keluarga yang difabel harus mau “menurunkan” cita-citanya untuk meraih pendidikan dan kesempatan kerja yang lebih tinggi.

“Banyak kasus psikisnya dijatuhkan oleh keluarga sendiri,” ungka Rizkah.

Padahal, menurut anggota Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) Sulsel ini, keluarga harus mengambil peran dalam memicu dan menyemangati anggota keluarga disabilitas, terkhusus bagi perempuan yang berhak melanjutkan hidupnya.

Diskriminasi yang kerap diterima itu berbuntut pada masa depan sang anak disabilitas. Akibatnya, banyak yang tidak atau lambat sekolah dan banyak pula yang tidak menikah, karena dicap tidak mampu mengurus rumah tangga.

Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemangku kepentingan agar kampanye pemenuhan hak-hak kaum disabilitas khususnya perempuan juga bisa menyentuh para keluarga dan masyarakat terdekat karena dari merekalah mendapat dorongan untuk dapat sejajar dengan yang lain.(anjas)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

News Feed